siang agan-agan/ aganwati saya cuman mau ngasih tau hal yang bikin hati
saya terpukul, kalian pasti pernah denger jikalau Nokia pernah menjadi
penguasa tunggal, tapi sekarang apa daya semenjak ke munculannya
Blackberry, Nokia harus rela turun, akankah nokia menyusul siemens?
… hendak lebih lengkapnya
Temaram senja tampak tengah bersemayam diatas kompleks kantor pusat
Nokia di kota Helsinki, Finlandia. Butiran salju tipis berjatuhan,
menghampiri setiap sudut bangunan. Udara terasa dingin membeku. Di salah
satu ruangan, para petinggi Nokia tampak duduk berdiskusi dengan penuh
kesenduan. Semilir angin yang dingin membuat suasana ruangan itu terasa
kian muram.
Para petinggi itu wajar gundah gulana. Hari-hari ini kita tengah
menyaksikan drama robohnya kedigdayaan Nokia dalam panggung industri
ponsel keseluruhan. Di banyak negara, pangsa pasar Nokia jatuh
bertumbangan. Dalam kategori smartphone – salah satu kategori terpenting
– produk Nokia terpelanting, dihantam barisan produk kompetitor.
& ini dia fakta yang terasa begitu pahit : dalam tiga tahun
terakhir, price saham Nokia anjlok hingga 80% (delapan puluh persen !!).
Ini sama artinya dengan kehancuran. Para pelaku & pengamat pasar
terasa begitu galau dengan waktu depan Nokia.
What went wrong? Bagaimana mungkin Nokia yang dulu begitu jaya kini mendadak menjadi pecundang?
Make no mistake. Tentu saja Nokia belum hancur. Produk-produknya
masih tetap bissa bertahan. Di pasar Eropa, Nokia masih menjadi market
leader, meski kian terseok-seok. Namun keadaan pasar di tanah air
mungkin bissa menjadi ilustrasi. Semenjak serbuan masif Blackberry
Mania, Nokia seperti kehilangan momentum (mampirlah ke pusat-pusat
penjualan ponsel, & kita tak lagi bissa menemukan neon sign
bertuliskan Nokia. Haree gene, koq masih pake Nokia — begitu ledekan
salah satu pedagang ponsel . Doh).
Sementara serbuan ponsel murah dengan fitur yang melimpah, ternyata
mendapat sambutan positif yang mengejutkan dari masyarakat. Nokia
mungkin tak pernah menyangka ponsel seperti Nexian, Ti-phone, Cross, dll
itu bissa dengan mudah mengusik keperkasaannya.
Ada dua pelajaran penting yang bissa kita petik dari drama kejatuhan
Nokia ini. Pelajaran pertama : sang raksasa pun bissa dengan mudah
jatuh. Dengan kata lain, mempertahankan kedigdayaan ternyata bukan hal
yang mudah. Kejayaan yang bissa terus dipertahankan itu ternyata bukan
taken for granted. Itulah kenapa kita mesti memberikan applaus kepada
prsh yang selama puluhan tahun tetap bissa menjadi leader seperti Teh
Botol Sosro, televisi Sharp, printer HP, sepatu Bata, Bank BRI, sabun
Lifebuoy, & lain-lainnya.
Pelajaran kedua adalah munculnya apa yang bissa disebut sebagai
innovator dilemma (tema ini diuraikan dengan amat mendalam dari Clayton
Christensen dalam buku best seller berjudul : The Innovator’s Dilemma:
The Revolutionary Book that Will Change the Way You Do Business)
Inti dari innovator dilemma adalah ini : para penguasa pasar itu ragu
melakukan inovasi lantaran takut produk inovasinya itu akan
meng-kanibal atau menghantam balik produk utamanya yang masih laku di
pasaran.
& dilema itu berkali-kali datang : dulu GM ragu mengembangkan
mobil ukuran mungil lantaran takut justru akan “meng-kanibal” produk
utamanya (akhirnya Toyota yang menang). Dulu Gudang Garam & Djarum
takut melakukan inovasi rokok mild lantaran takut akan menghantam balik
produk utamanya (akhirnya Sampoerna yang datang). Dulu Honda ragu
melakukan inovasi motor skutik (akhirnya Mio yang datang; untung Honda
segera mengejar balik).
& Nokia ragu melakukan kolaborasi open source untuk mengembangkan
aplikasi smart phone lantaran takut produk utamanya, Symbian, akan
kehilangan pasar (& akhirnya Android yang datang menghajar).
Innovator dilemma terjadi, bukan lantaran para market leader tidak
bissa melihat arah pasar. Atau juga bukan karena mereka tidak mampu
melakukan inovasi. Mereka tahu persis arah pasar & sangat kapabel
dalam melakukan inovasi. Hanya saja, mereka TAKUT melakukan itu lantaran
khawatir hasilnya justru akan menghantam balik produk utama mereka yang
masih laris manis di pasaran.
& saat mereka sadar bahwa ketakutan itu tidak beralasan,
segalanya telah terlambat. Kompetitor yang sigap & nothing to lose
dengan segera mengambil kesempatan itu. lampau meninggalkan sang
incumbent (penguasa pasar saat itu) terpelanting ke pinggir gelanggang.
Itulah dua pelajaran penting nan ringkas yang bissa kita petik dari drama kejatuhan Nokia.
Senja telah lewat, & butiran salju kian deras mengalir di atap
kantor pusat Nokia, di Finlandia. Rapat masih juga belum berakhir. Para
petinggi Nokia itu harus segera mengambil solusi.
Sebab bila tidak, kelak kita mungkin akan mengenal ponsel Nokia hanya dari museum & buku-buku sejarah waktu silam.
saya terpukul, kalian pasti pernah denger jikalau Nokia pernah menjadi
penguasa tunggal, tapi sekarang apa daya semenjak ke munculannya
Blackberry, Nokia harus rela turun, akankah nokia menyusul siemens?
… hendak lebih lengkapnya
Temaram senja tampak tengah bersemayam diatas kompleks kantor pusat
Nokia di kota Helsinki, Finlandia. Butiran salju tipis berjatuhan,
menghampiri setiap sudut bangunan. Udara terasa dingin membeku. Di salah
satu ruangan, para petinggi Nokia tampak duduk berdiskusi dengan penuh
kesenduan. Semilir angin yang dingin membuat suasana ruangan itu terasa
kian muram.
Para petinggi itu wajar gundah gulana. Hari-hari ini kita tengah
menyaksikan drama robohnya kedigdayaan Nokia dalam panggung industri
ponsel keseluruhan. Di banyak negara, pangsa pasar Nokia jatuh
bertumbangan. Dalam kategori smartphone – salah satu kategori terpenting
– produk Nokia terpelanting, dihantam barisan produk kompetitor.
& ini dia fakta yang terasa begitu pahit : dalam tiga tahun
terakhir, price saham Nokia anjlok hingga 80% (delapan puluh persen !!).
Ini sama artinya dengan kehancuran. Para pelaku & pengamat pasar
terasa begitu galau dengan waktu depan Nokia.
What went wrong? Bagaimana mungkin Nokia yang dulu begitu jaya kini mendadak menjadi pecundang?
Make no mistake. Tentu saja Nokia belum hancur. Produk-produknya
masih tetap bissa bertahan. Di pasar Eropa, Nokia masih menjadi market
leader, meski kian terseok-seok. Namun keadaan pasar di tanah air
mungkin bissa menjadi ilustrasi. Semenjak serbuan masif Blackberry
Mania, Nokia seperti kehilangan momentum (mampirlah ke pusat-pusat
penjualan ponsel, & kita tak lagi bissa menemukan neon sign
bertuliskan Nokia. Haree gene, koq masih pake Nokia — begitu ledekan
salah satu pedagang ponsel . Doh).
Sementara serbuan ponsel murah dengan fitur yang melimpah, ternyata
mendapat sambutan positif yang mengejutkan dari masyarakat. Nokia
mungkin tak pernah menyangka ponsel seperti Nexian, Ti-phone, Cross, dll
itu bissa dengan mudah mengusik keperkasaannya.
Ada dua pelajaran penting yang bissa kita petik dari drama kejatuhan
Nokia ini. Pelajaran pertama : sang raksasa pun bissa dengan mudah
jatuh. Dengan kata lain, mempertahankan kedigdayaan ternyata bukan hal
yang mudah. Kejayaan yang bissa terus dipertahankan itu ternyata bukan
taken for granted. Itulah kenapa kita mesti memberikan applaus kepada
prsh yang selama puluhan tahun tetap bissa menjadi leader seperti Teh
Botol Sosro, televisi Sharp, printer HP, sepatu Bata, Bank BRI, sabun
Lifebuoy, & lain-lainnya.
Pelajaran kedua adalah munculnya apa yang bissa disebut sebagai
innovator dilemma (tema ini diuraikan dengan amat mendalam dari Clayton
Christensen dalam buku best seller berjudul : The Innovator’s Dilemma:
The Revolutionary Book that Will Change the Way You Do Business)
Inti dari innovator dilemma adalah ini : para penguasa pasar itu ragu
melakukan inovasi lantaran takut produk inovasinya itu akan
meng-kanibal atau menghantam balik produk utamanya yang masih laku di
pasaran.
& dilema itu berkali-kali datang : dulu GM ragu mengembangkan
mobil ukuran mungil lantaran takut justru akan “meng-kanibal” produk
utamanya (akhirnya Toyota yang menang). Dulu Gudang Garam & Djarum
takut melakukan inovasi rokok mild lantaran takut akan menghantam balik
produk utamanya (akhirnya Sampoerna yang datang). Dulu Honda ragu
melakukan inovasi motor skutik (akhirnya Mio yang datang; untung Honda
segera mengejar balik).
& Nokia ragu melakukan kolaborasi open source untuk mengembangkan
aplikasi smart phone lantaran takut produk utamanya, Symbian, akan
kehilangan pasar (& akhirnya Android yang datang menghajar).
Innovator dilemma terjadi, bukan lantaran para market leader tidak
bissa melihat arah pasar. Atau juga bukan karena mereka tidak mampu
melakukan inovasi. Mereka tahu persis arah pasar & sangat kapabel
dalam melakukan inovasi. Hanya saja, mereka TAKUT melakukan itu lantaran
khawatir hasilnya justru akan menghantam balik produk utama mereka yang
masih laris manis di pasaran.
& saat mereka sadar bahwa ketakutan itu tidak beralasan,
segalanya telah terlambat. Kompetitor yang sigap & nothing to lose
dengan segera mengambil kesempatan itu. lampau meninggalkan sang
incumbent (penguasa pasar saat itu) terpelanting ke pinggir gelanggang.
Itulah dua pelajaran penting nan ringkas yang bissa kita petik dari drama kejatuhan Nokia.
Senja telah lewat, & butiran salju kian deras mengalir di atap
kantor pusat Nokia, di Finlandia. Rapat masih juga belum berakhir. Para
petinggi Nokia itu harus segera mengambil solusi.
Sebab bila tidak, kelak kita mungkin akan mengenal ponsel Nokia hanya dari museum & buku-buku sejarah waktu silam.